Hari
ini adalah hari libur, sebagai mahasiswa yang cukup sibuk untuk mengerjakan laporan
dan tugas, moment ini saya pergunakan untuk menikmati kota Semarang. Sekedar
informasi saya tinggal dikawasan Universitas Diponegoro, untuk menuju Semarang
kota dibutuhkan waktu 30 menit atau bahkan sampai 2 jam apabila macet. Hari ini
saya memutuskan untuk naik BRT karena lebih murah dan juga dapat menikmati AC
gratis. Saya berangkat pada jam 12 siang dan macetnya kota Semarang tidak dapat
terhidari lagi. Sungguh hari yang sial. Untuk menghilangkan rasa bosan, saya
mencoba menikmati segala hiruk pikuk kota Semarang dari kaca. Ada hal yang cukup
menarik perhatian yaitu ketika perhentian pada salah satu shelter yang cukup
memakan waktu karena seorang ibu harus menggendong anaknya yang menyandang
disabitas berjalan, karena BRT tidak memiliki tangga tambahan untuk menghubungkan
bus dengan shelter dan petugas juga tidak dengan sigap untuk membantu si ibu. Secara
psikologi si penyadang disabilitas akan merasa minder, bersalah dan malu karena
merepotkan bagi orang lain dan menjadi pusat perhatian karena tatapan yang
memandangnya.
Peristiwa
tersebut menunjukkan minimnya aksesbilitas dan fasilitas publik bagi penyandang
disabilitas. Contoh lain ketika macet parah, para pengendara motor nekat
menerobos trotoar untuk menghindari macet. Tentu hal ini sangat mengganggu
kenyamanan para pejalan kak dan tidak dapat menikmati haknya dengan nyaman. Apabila
bagi kita yang memiliki kondisi fisik yang sempurna masih merasa cukup
menjengkelkan, bagaimana dengan penyandang disabiitas? tentu hal ini sangat
merepotkan.
Penyandang
disabilitas di Indonesia sering mendapatkan kelas
kedua. Fisik yang kurang sempurna menjadi penghalang untuk mendapatkan
hak-hak sebagai warga negara. Pemerintah yang masih enggan dalam memberikan pelayanan dan fasilitas seperti ruang
publik sangat minim yang menyediakan ruangan khusus bagi penyandang
disabilitas. Hal kecil seperti trotoar yang berlubang, jembatan yang sudah
tidak layak harusnya ynag harus lebih diperhatikan pemerintah untuk
meningkatkan dan memberikan rasa nyaman terhadap pengandang disabilitas
sehingga tidak ada lagi sebutan warga kelas
dua.
Untuk
mengikis kesenjangan terhadap disabilitas, perlu diperhatikan beberapa pihak
seperti pemerintah dan lingkungan.
Pemerintah.
Tidak bisa dipungkiri pemerintah menjadi salah satu penopang aksebilitas tanpa
batas. Pemerintah mempunyai wewenang membuat sebuah peraturan, wewenang yang
tidak dimiliki oleh pihak lain. Pemerintah harus lebih memperhatikan kaum
disabilitas agar penyandang disabilitas tidak merasa menjadi kaum kedua di
negara sendiri. Perlu diperhatikan hal-hal kecil tetapi cukup menganggu dan
krusial bagi masyarakat penyandang disabilitas. Trotoar diperuntukkan bagi
pejalan kaki bukan kendaraan, gerbong khusus pada kaum disabel, akses yang
nyaman dan lengkap terhadap area publik. Umumnya kejenjangan yang sangat
dirasakan oleh penyandang disabilitas adalah perbedaan hak yang diterimanya.
Sekolah umum biasanya menolak siswa yang menyandang disabilitas dan disarankan
masuk ke sekolah luar biasa. Kasus lain, sangat sedikit lembaga pemerintahan
ataupun lembaga swasta yang memberikan kesempatan kerja bagi penyandang
disabilitas. Sehingga pada akhirnya penyandang disabiitas hanya bekerja sebagai
pekerja berdasarkan kemampuan individual, seperti tukang pijat ataupun
penjahit. Olak hanya itu, pemerintah perlu memperhatikan lebih terhadap hak-hak
penyadang disabilitas. Pemerintah juga dapat membuat perlombaan yang
dikhususkan bagi masyaratakat kaum disabilitas. Hal ini dapat meningkatkan rasa
percaya diri dan motivasi untuk maju dan berkembang.
Lingkungan.
Perlu dilakukan mainset ulang
masyarakat terhadap penyandang disabilitas. Biasanya masyarakat menganggap kaum
disabilitas kaum yang terpinggirkan dan menyusahkan. Tidak sedikit kaum disabilitas
yang menjadi bahan ejekan. Masyarakat pada umumnya masih melakukan klasifikasi
sosial, hanya bergaul pada sesama yang memiliki fisik normal. Hal ini dapat
menganggu psikologis kaum disabel untuk berkembang, merasa tidak berguna, disingkirkan
dan tidak diharapkan. Lingkungan yang mendukung pada penyandang disabilitas
seperti masyarakat yang saling menghargai dan akses publik tanpa batas. Contoh
nyata dapat dilakukan dengan pengadaan perlombaan yang melibatkan penyandang
disabilitas. Hal ini akan meningkatkan rasa percaya diri dan meningkatkan
kebersamaan sehingga perbedaan terhadap penyadang disabilitas semakin terkikis.
Tak hanya itu, teknologi juga dapat dimanfaatkan sebagai media untuk
mengapresiasikan para penyandang disabilitas seperti situs http://www.kartunet.com dan http://www.xl.co.id. Internet merupakan media yang
universal sehingga dapat menjangkau semua kalangan. Informasi yang mendidik
dapat membuka wawasan mengenai penyandang disabilitas. Mengubah pandangan
miring terhadap penyandang disabilitas bukan hal yang mudah tetapi bukan hal
yang musahil untuk dilakukan. Diperlukan kerjasama dari semua pihak untuk
menciptakan Indonesia dengan aksesbilitas tanpa batas.